Lakeybanget.com – Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang memuat poin tentang transfer data pribadi lintas negara menuai sorotan. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai perjanjian tersebut memiliki sejumlah permasalahan serius, terutama terkait perlindungan data pribadi dan kesetaraan regulasi antarnegara.
Peneliti ELSAM, Parasurama Pamungkas, mengungkap sedikitnya ada empat persoalan utama yang harus menjadi perhatian dalam implementasi perjanjian tersebut.
“Kita melihat adanya standar hak asasi manusia yang berbeda, serta standar legislasi dan regulasi yang timpang antara Indonesia dan AS,” kata Pamungkas, Rabu (23/7).
- Ketimpangan Standar HAM dan Regulasi
Menurut Pamungkas, ketidakseimbangan standar hukum antara kedua negara berpotensi menciptakan ruang bagi pelaksanaan perjanjian yang tidak setara. Hal ini berisiko membuat Indonesia berada pada posisi yang lebih lemah dalam hal perlindungan data warganya. - Potensi Pemantauan Massal oleh AS
Masalah kedua yang diangkat adalah potensi pengawasan massal oleh pemerintah AS. Berdasarkan hukum pengawasan intelijen di AS, pemerintah setempat memiliki wewenang untuk mengakses data komunikasi warga negara asing, termasuk data yang tersimpan di server di wilayah AS.
“Pemerintah AS bisa mengakses informasi yang tersimpan di server domestik mereka, jika data tersebut terkait dengan target asing. Ini memicu kekhawatiran akan praktik pemantauan massal,” ujarnya.
- Ancaman terhadap Hak Konstitusional Warga RI
Pamungkas juga menyoroti bahwa kesepakatan tersebut mengancam hak atas privasi warga Indonesia, yang diakui dalam konstitusi sebagai hak fundamental. Sementara itu, AS tidak secara eksplisit mengakui hak atas privasi sebagai hak dasar dalam sistem hukum mereka.
“Ada perbedaan prinsipil antara konstitusi Indonesia dan hukum di Amerika. Ini membuat posisi perlindungan data warga kita menjadi rentan,” tambahnya.
- Ketiadaan Lembaga Pengawas dan Aturan Turunan UU PDP
Persoalan keempat yang diungkap ELSAM adalah belum terbentuknya lembaga pengawas perlindungan data pribadi di Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Selain itu, regulasi turunan yang mengatur mekanisme transfer data lintas batas juga belum tersedia.
“Tanpa aturan turunan dan lembaga pengawas yang jelas, sulit memastikan apakah transfer data lintas batas ini memenuhi prinsip kesetaraan dan keamanan,” ujar Pamungkas.
Sebelumnya, mantan Presiden AS Donald Trump membocorkan sejumlah poin dalam kerangka kerja perjanjian dagang RI-AS, termasuk tarif resiprokal untuk ekspor Indonesia dan akses pasar bagi sektor-sektor strategis Amerika. Salah satu fokus utama dalam kesepakatan ini adalah sektor digital, yang membuka peluang pertukaran data antara kedua negara.
Dalam pernyataan resmi Gedung Putih, disebutkan bahwa kesepakatan tersebut akan “membuka terobosan besar bagi manufaktur, agrikultur, dan sektor digital Amerika.”
Namun di tengah euforia kerja sama ekonomi, kalangan pegiat privasi dan perlindungan data di Indonesia mengingatkan pentingnya penguatan regulasi dalam negeri sebelum membuka keran transfer data ke negara lain, terlebih ke negara dengan sistem perlindungan yang berbeda secara prinsipil.
